PENDAHULUAN
Adat istiadat tradisional Jawa dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh ketentraman hidup lahir batin. Bagi orang Jawa, mengadakan upacara tradisional itu dalam rangka memenuhi kebutuhan spiritualnya, supaya eling marang purwa daksina. Tradisi kebatinan orang Jawa itu sebenarnya bersumber dari ajaran agama yang diberi hiasan budaya daerah. Oleh karena itu, orientasi kehidupan rohani orang Jawa senantiasa memperhatikan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyangnya.
Di samping itu, upacara tradisional dilakukan orang Jawa dalam rangka memperoleh solidaritas sosial, lila lan legawa kanggo mulyaning negara. Upacara tradisional juga menumbuhkan etos kerja kolektif, yang tercermin dalam ungkapan gotong royong nyambut gawe. Dalam berbagai kesempatan, upacara tradisional itu memang dilaksanakan dengan melibatkan banyak orang. Mereka melakukan ritual ini dengan dipimpin oleh para sesepuh dan pinisepuh masyarakat. Upacara tradisional juga berkaitan dengan lingkungan hidup.
Sifat keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan Jawa dapat dipersamakan dengan suatu lukisan mozaik yang secara keseluruhan menggambarkan nilai-nilai budaya bangsa. Seperti halnya seb uah bingkai warna merupakan unsur keseluruhan yang hanya dapat dipahami dalam hubungan kebudayaan sebagai satu-kesatuan.
Adat istiadat atau sering pula disebut adapt adalah merupakan sistem nilai dari suatu pranata sosial yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Salah satu unsur adat yang penting untuk dikaji dalam tulisan ini adalah Hakikat Upacara Adat“Bayen” (Selamatan Bagi Bayi ) Pada Masyarakat Jawa: Antara Keyakinan dan Harapan. Upacara adat ini mengandung nilai-nilai budaya (spiritual) yang tinggi dan luhur “Adi Luhung”.
Nilai-nilai budaya ini merupakan konsep-konsep mengenai apa yang mereka angap bernilai. Oleh karenanya nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan tak diganti dengan nilai budaya lain.
PERMASALAHAN
Menyimak latar belakang perikehidupan manusia sebagai makhluk yang berbudaya akan kita jumpai berbagai hal tentang aneka kegiatan budaya sebagai hasil buah budi manusia yang merupakan kelengkapan persyaratan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Tatanan kehidupan seperti adanya adat-istiadat, aturan atau norma-norma hidup dan sebagainya senantiasa tercipta dan dianutnya dengan penuh disiplin dan rasa tanggung jawab sesuai dengan tuntutan lingkungan. Keyakinan terhadap sesuatu hal di sampin keyakinan hakiki terhadap Tuhan Yang Maha Esa senantiasa tidak dapat dihindarkan misalnya keyakinan / kepercayaan kepada kekuatan-kekuatan gaib, pengaruh roh nenek moyang, roh halus, dan sebagainya.
Pada masyarakat Jawa terdapat berbagai jenis upacara adat yang bertujuan untuk mohon keselamatan dan perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh masyarakat Jawa, upacara adat ini sudah diyakini secara turun temurun. Secara umum, upacara adat Jawa ini dimulai dari calon bayi ( Tingkepan ) sampai meninggal dunia seribu hari ( Nyewu : Seribu Hari ).
Dalam tulisan ini akan dipaparkan : ‘Bagaimanakah Hakikat Upacara Adat “Bayen” Pada Masyarakat Jawa? Bagaimanakah keyakinan dan harapan masyarakat Jawa dalam melaksanakan upacara adat “ Bayen” ini? Perhatikan uraian Pembahasan berikut ini.
PEMBAHASAN
Bagi masyarakat Jawa, upacara adat yang bertujuan untuk mohon perlindungan dan keselamatan bayi ( calon bayi ) kepada Sang Pencipta, sangatlah penting. Upacara adat ini bisa dinamakan “UPACARA ADAT BAYEN”. Secara umum, upacara adat ini dimulai dari calon bayi masih dalam kandungan tujuh bulan (tingkeban) sampai si calon bayi lahir kedunia fana ( bahkan sampai usia balita ).
Dalam tulisan ini, Adat Upacara “Bayen” dibatasi mulai dari calon bayi masih dalam kandungan tujuh bulan (tingkepan) sampai si bayi lahir usia tujuh bulan. Secara rinci “UPACARA ADAT BAYEN” dapat dipaparkan menjadi tiga tahap berikut ini:
1. UPACARA TINGKEPAN ( UPACARA MITONI)
Upacara tingkepan atau mitoni ini dilaksanakan pada waktu calon ibu hamil anak pertama usia tujuh bulan (dalam kandungan). Ada bernagai macam tata cara dalam upacara tingkepan atau mitoni, dan diyakini mampu menjadi sarana tolak balak atau permohonan keselamatan dan perlindungan kepada Sang Maha Kuasa. Tata upacara tingkepan ini terdiri dari beberapa macam adat atau tata cara, antara lain :
a) Adat Blosot Endhog
Blosot endhog maksudnya memasukkan telur ayam kedalam tubuh /pakaian dimulai dari bagian dada terus melalui perut yang akhirnya telur keluar sampai jatuh pada tanah. Doa pada acara tersebut adalah: “Minongko jabang bayi sing dikandung niat ingsun mblosokakenendhog prosat prusut slamet anggenipun nglairaken jabang bayi.” Dalam Bahasa Indonesia sebagai berikut: “Demi si Jabang Bayi dalam kandungan saya memasukkan telur agar gampang dan selamatlah kelahiran si Jabang Bayi”. Sehabis siraman penganten tingkep perlu ganti busana. Pada saat ganti busana, sang Dukun menawarkan kepada seluruh hadirin tentang pantas dan tidaknya.
Dukun: “Apakah sudah pantas?” Hadirin: Belum! Hal tersebut dilakukan berulang kali. Baru setelah pergantian yang ke-7, hadirin menyatakan “pantas”. Acara kenduri dilaksanakan setelah acara siraman hampir selesai. Hadirin yang terdiri dari keluarga sendiri, tetangga, dan para sesepuh setempat ikut menyaksikan. Di antaranya yang paling tua sebagai pembawa doa. Dalam doa tersebut disebutkan juga jenis hidangan serta artinya.
b) Adat Putus Benang Lawe
Lauk dari burung kepodang dengan maksud agar bayi yang akan lahir berkulit kuning dan indah seperti burung kepodang, benang lawe sebagai ikat pinggang, dua telur ayam yang dipangku. Bila benang lawenya diputus,maka jatuhlah salah satu telur dan pecah. Ini melambangkan harapan agar bayinya akan lahir semudah seperti pecahnya telur, sedang telur yang tidak jatuh, akan diberikan pada calon ibu untuk ditelan kuning telurnya agar badannya menjadi kuwat dan bertambah tenaganya. Jamu ramuan (pejja). Jamu tersebut harus diminum oleh calon ibu agar payudaranya subur penuh air susu sebagai makanan sang bayi. Bedak dingin untuk menyegarkan tubuhnya. Bedak mangir dan lulur. Ini dilakukan agar kulit calon ibu menjadi halus kekuningan serta berbau harum.
c) Adat Menebar Beras Kuning
Sebelum acara dimulai, ketua adat menaburkan doa dilanjutkan dengan menebarkan beras kuning. Sebagai tindak lanjut, dukun bayi juga membca doa diteruskan dengan pemotongan rambut calon ibu yang maksudnya menghilangkan petaka (mowang sangkal). Kemudian calon bapak memutus/ membuka benang lawe sehingga jatuhlah salah sebutir telur dan pecah. Ini mengandung perlambang harapan agar lahirnya bayi kelak semudah pecahnya telur. Sedangkan telur yang lain dipecah oleh ibunya, kuning telurnya diminumkan pada calon ibu di ikuti ramuan jamu (pejja) agar calon ibu menjadi sehat, kuat dan payudaranya padat berisi air susu. Sementara itu calon bapak memecah sebutir kelapa gading, dan yang sebutir lagi di serahkan pada ibu yang langsung menggendongnya.
Acara berikutnya adalah dukun bayi memilih pakaian yang sudah disiapkan sambil menanyakan pada hadirin: “apakah pakaian ini pantas?” Tidak”,jawab hadirin. Pertanyaan demikian dilanjutkan hingga pakaian terakhir yang di jawab hadirin: “ Ya Pantas”, karenanya lalu dipakaikan pada calon ibu, dan merias diri dengan alat dan bahan yang sudah dsediakan. Selama calon ibu merias dirinya, sang ibu menjual rujak kembang. Upacara pelet kandung ini berakhir setelah ibunya mnyuapkan nasi yang berlauk burung kepodabg. Demikian prosesi upacara pelet yang bisa kita lihat dan tetap hidup serta dilaksanakan hingga saat ini. Tak lupa juga kami ketegahkan tentang busana yang dikenakan oleh para peserta upacara tersebut.
d) Adat Busana Tingkepan
Untuk calon bapak/ibu: busana calon bapak: pakai sarung tanpa baju, busana calon ibu: pakai kain, pakai kemben tanpa baju, busana orang tua kakung: kejawen ( waktung ) Ponoragan, busana orang tua putri: pakai kebayak lurik Ponoragan, jarik lurik kemben, batik Ponoragan, busana pengapit putri: pakai baju hitam, kain batik Ponoragan dua remaja putri sama, busana sesepuh/PenYiram: pakai bermacam-macam Ponoragan, busana sanak keluarga: pakai kebaya khas Ponoragan, batik Panoragan busana pranotocoro: kejawen (waktung) Ponoragan, busana pimpinan upacara: kejawen (waktung) Ponoragan. Di sekeliling tempat persiraman dihiasasi dengan tanaman/petetan yang segar bunga-bunga yang harum baunya? Dengan sinar lampu yang cukup terang. Di sela-sela tanaman/petetan ditempati sanak saudara yang menyaksikan jalannya upacara adat tingkepan. Tidak jauh dari tempat pesiraman disediakan tempat duduk orang tua yang nantinya calon bapak/ibu mohon doa restu kepadanya. Di dekat tempat pesiraman juga disediakan gentong yang berisi air tujuh sumber.
e). Adat Cangkir Gading
Acara memecah cangkir. Cangkir adalah jenis kelapa muda jenis kelapa gading. Pada kelapa tersebut terlukis gambar Dewi Ratih dan Batara Kamajaya. Maksudnya apabila lahir perempuan cantiknya seperti Dewi Ratih dan bila Laki-laki babusnya seperti Kamajaya. Pecahnya cangkir pun ada maknanya apabila posisinya tepat ditengah menandakan jabang bayi lahir perempuan, tetapi jika posisinya pecah dipinggir maka jabang bayi yang lahir adalah lelaki. Acara siramen selesai sudah, para hadirin menuju pengantin tingkep dan suaminya untuk menyampaikan upacara semoga kelahiranya selamat sejahtera baik bagi si jabang bayi maupun untuk ibunya.
Sang suami dengan berpakaian khas di daerah tersebut, memanjat pohon kelapa gading untuk mengambil cengkir (kelapa yang masih sangat muda) gading sebanyak tiga buah, yang setelah mendapatkan cengkir tersebut digendong dan dipayungi kemudian diserahkan kepada ayah dan ibu (orang tua) sang istri. Dua buah cengkir gading tersebut orang tua si istri diserahkan kepada seseorang untuk digambari, yang satu Harjuna atau Kamajaya dan yang satu lagi digambari sembadra atau Dewi Ratih. Konon kabarnya apabila jabang bayi lahir laki-laki akan seganteng, secakap Harjuna atau Kamajaya. Sedangkan apabila lahir wanita diharapkan akan secantik Dewi Sembadra atau Dewi Ratih dalam pewayangan.
Suami dan istri (yang hamil 7 bulan) oleh adat setempat diberi pakaian tatanan setempat yang oleh dukun bayi dibawa ke tempat “joglo” untuk disirami (dimandikan) di sini diiringi oleh ayah dan ibu sang istri dengan berpakaian adat setempat. Mandi keramas dilakukan oleh dukun, ayah dan ibu dengan harapan sang ayah dan ibu yang mengukir jiwa raga bayi dalam kandungan untuk disucikan dari segala dosa dan kotoran sehingga apabila jabang bayi lahir nanti menjadi anak yang soleh dan solehah, berguna bagi nusa, bangsa, dan agama. Sang ibu diberi keselamatan oleh Tuhan Yang Maha Esa dalam melahirkan nanti.
f) Adat Pupus Pisang
Sang istri diberi sembong pupus pisang oleh dukun. Oleh dukun dan sang ayah, dua cengkir yang sudah digambari dimasukkan dalam sembong pupus pisang, yang bawahnya nanti diterima oleh ayah dan ibu sang istri. Apabila cengkir bergambar Harjuna/Kamajaya yang dijatuhkan, dukun menyampaikan kata-kata: “Lanang-lanang-lanang...ganteng-bagus-ganteng-bagus”. Apabila cengkir bergambar Sembadra/Dewi Ratih yang dijatuhkan maka dukun akan menyampaikan kata-kata: “Ayu-ayu-ayu... manis – manis –manis –luwes – gandhes”. Ayah dan ibu setelah menerima dua cengkir dari bawah, kemudian membawa ke tempat yang telah disediakan.
g) Upacara Adat Siraman
Pada upacara siraman ini didahului dengan sungkeman kepada bapak/ ibu dan mertua. Mecah cangkir : pada acara mecah cangkir ini yang perlu disiapkan adalah cangkir gading yang berarti punya kekuatan dan teguh dalam pendirian. Cangkir tersebut diberi gambar Batara Kamajaya atau Janaka atau Betari Ratih atau Sembadra, siraman: dikandung maksud biar segar bugar seperti bunga, teropongan: dalam acara ini ntuk teka-teki apakah bayi yang berada dikandungan tersebut laki-laki atau perempuan, ganti baju atau kain pankang tujuh macam : diharap andai kata bayi tersebut lahir pada usia kandungan paling tidak tujuh bulan ke atas.
Jual rujak/ dawet: rujak segar: jika rasa rujak tersebut cemplang atau sengak dapat diduga bayi kelak lahir laki-laki, namun jika rujak tersebut terasa sedap bayi lahir kelak perempuan. Dawet plencing: diharap bayi yang lahir nanti dapat bergerak keluar dengan cepat seperti larinya kidang. Dalam acara jual rujak / dawet ini uang yang digunakan adalah uang kreweng. Setelah para tamu tidak ada yang membeli lagi maka rujak atau dawet tersebut diborong oleh mertua yang diserahka kepada ibu dari manten putri.
h) Prosesi Adat Tingkepan
Prosesi Upacara Adat Tingkepan dipimpin oleh seorang dukun yang bertugas sebagai sutradara hingga upacara selesai. Kedua calon Bapak Ibu sebelum berwudhu air kendi terlebih dahulu mengenakan daun pupus pisang yan dikandung maksud agar kelahiran sijabang bayi kelak lancar dan cepat seperti seperti air yang dituangkan daun pupus pisang. Yang pertama kali menyiramkan adalah kedua orang tua calon bapak atau ibu yang ditingepi, kemudian bergantian kepada sesepuh kakung putri hingga habis dengan hitungan siraman ganjil. Yang paling akhir mbah Dukun menuangkan air kendi sampai habis sambil berdoa mudah-mudahan si jabang bayi kelak menjadi anak yang suci, sholeh, dan berguna bagi bangsa dan negara. Kemudian Mbah Dukun mengambil kendi dengan mengucap : “Ora mecah kendi nanging mecah kelahirane si jabang bayi... kendi dipecah berkeping-keping dan berebutlah orang-orang untuk mengambil kepingan kendi karena kepingan tersebut merupakan rejeki yang dapat digunakan untuk membel rujak.
Kemudian Mbah Dukun memakaikan benang lawe ke perut calon ibu yang sedang mengandung tujuh bulan, sedangkan calon bapaknya memutuskan benang lawe tersebut dengan pisau atau gunting yang sekaligus putus, ini mengandung arti secepat puusnya benang itulah si jabang bayi lahir. Mbah Dukun melonggarkan kain dan menjatuhkan teropong dari atas ke bawah yan di tangkap oleh eyang putri dengan kain sindur sambil mengucap “ Alhamdulillah, pakne putumu lahir lanang yang kemudian diserahkan kepada Eyang Kakung disertai ucapan “Alhamdulillah”.
Kelapa gading yang sudah dilukis dengan gambar Janaka, dipersiapkan untuk dipecah oleh calon bapak menurut kepercayaan wong Ponorogo kalau memecahnya tepat di tengah akan lahir perempuan dan kalau pecahnya meleset ke pinggir anaknya akan lahir laki-laki. Calon ibu ganti pakaian langsung jualan rujak dan pembelinya menggunakan uang dari pecahan kendi tadi. Kemudian calon bapak digebrak oleh Mbah Dukun terus lari menuju ke luar dengan maksud agar calon bapak gumregah makaryo (rawe-rawe rantas malang-malang putung) karena mempunyai beban tanggung jawab terhadap anaknya nanti. Calon ibu masih berada di tempat penjualan rujak kemudian oleh Mbah Dukun dipakaikanlah kain sebanyak tujuh kali.
2. UPACARA KELAHIRAN BAYI
Upacara kelahiran bayi dilaksanakan pada saat bayi lahir sampai berusia tujuh hari ( bahkan ada yang sampai usia tiga puluh enam hari : Selapan ). Oleh masyarakat Jawa, upacara adat ini diyakini secara turun temurun. Ada beberapa jenis upacara kelahiran bayi, antara lain :
a) Adat Barokohan
Pelaksanaan kegiatan kerja sama sewaktu ada kelahiran, para tetangga yang mendengar berita ini, berdatangan terutama para ibu untuk mengucapkan selamat dan mereka membawa bingkisan berupa bedak, sabun mandi, sabun cuci, kopi gula, dan sebagainya. Kemudian diadakan selamatan “brokohan”, yang diundang adalah para ibu dan yang bertindak sebagai pemimpin upacara adalah dukun bayi. Selamatan brokohan ini terdiri dari sejumlah makanan dan unsur-unsur makanan yang sudah mempunyai susunan baku. Yang menyiapkan selamatan ini ialah para ibu tetangga dekat dan dukun bayi.
Setelah bayi lahir, ari-ari / plasentanya dibersihkan dan diberi bunga-bungaan dan syarat-syarat tertentu oleh dukun bayi, kemudian ditanam dengan upacara tertentu. Di tempat penanaman plasenta tadi diberi lampu siang malam sampai beberapa hari. Malam harinya diadakan upacara “melekan” ( agar orang tidak tidur sore hari) dan yang diundang dalam kegiatan ini adalah para bapak. Mereka dimintai bantuannya untuk menemani orang yang mempunyai anak bayi, supaya tidak tidur sore hari. Untuk menjaga jangan sampai orang tertidur, lalu ada orang yang pekerjaannya membacakan kidung/ nyanyian yang berisi puji-pujian kepada Tuhan / cerita babad. Untuk kegiatan ini yang mempunyai rumah mempunyai kewajiban moral menyediakan makanan dan minuman serta rokok.
Peristiwa upacara adat ini berada disuatu daerah pelosok desa yang gersang dan tandus yaitu Desa Ba’engas dan Desa Bringin, Kecamatan Labang, Kabupaten Bangkalan. Daerah ini memang sangat ter pencil lahan sawahnya cenderung kering dengan kategori jenis sawah tadah hujan, artinya kondisi tanahnya tergantung pada curah hujan. Sedangkan sistem kemasyarakatannya sangatlah kuat dan menganut sistem gotong royong dalam menangani dan menanggulangi segala hal, dengan sendirinya masyarakat setempat yang bercocok tanam padi, buah-buahan, tumbuhan palawija yang dapat dimanfaatkan dengan kondisi alam lingkungannya sangatlah tergantung pada curah hujan. Karena sangat mendambakan akan turunnya hujan sehingga masyarakat melakukan upacara adat “Okol Menta Ojan” dengan harapan apabila kemarau panjang akan segera turun ,hujan. Apabila turun hujan tentunya mereka akan mudah dengan sendirinya menggarap sawah tegalnya untuk ditanami yang kemudian dapat pula dinikmati hasil jerih payahnya.
b) Adat Adi Ari ari
Ditambahkan di sini menurut kepercayaan pada masyarakat adat, maka kelahiran seorang bayi dibarengi saudara kembarnya. Saudara tua berupa air kawah yang keluar sesaat sebelum bayi lahir. Ini disebut dengan istilah “kakang kawah”. Keduanya disebut kakang kawah dan adi ari-ari yang lahir bareng sedino. Kedua orang lelaki tersebut di atas, berjalan pelan, dengan langkah-langkah mengikuti irama. Haru, hening, dan syukur telah membaur.... Kendil yang berisi ari-ari”ditanam” di depan rumah sebelah kanan. Pada timbunan tanah ditaburkan bunga telon beserta airnya. Kemudian dinyalakanlah lampu sentir di atas tanah galian. Terakhir ditutupnya keranjang sebagai pelindung dari binatang buas.
Cokbakal dan tumbak sewu ditaruh di depan rumah sebelah kiri. Sedang daun widoro , alang-alang, dan pandan duri dipakukan pada pinu masuk atau pada tiang rumah. Seorang lelaki cukup tua membawa dupa dengan asap yang mengepul. Bau kemenyan yang harum menyebar kemana-mana tetapi sudah barang tentu tidak disajikan buat roh- roh, tetapi sekedar guna menghilangkan bau tidak enak. Orang ketiga dalam adegan 1 ini dudk bersila di depan rumah, denan sesekali berkomat kamit memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tidak berhenti-henti mengipas bara. Seorang lelaki keempat dalam adegan 1 ini pembawa karpetdigelar di lantai.
Kemudian selamatan sepasaran, yang memegang peranan di sini jadi dukun bayi, dia yang membacakan doa-doa dan makanan diantar di rumah para tetangga. Setelah bayi berumur 36 hari diadakan selamatan pula, yang diundang dalam selamatan tersebut adalah para ibu tetangga dan anak keluarga.
c) Adat Cuplakan
Cuplakan diangkat dari istilah cuplak (bahasa Jawa), coplok (bahasa Jawa) atau lepas, tanggal, gugur, atau luruh, yang dimaksud dengan cuplakan (cuplak+an) adalah masalah lepasnya, coploknya, gugurnya, atau luruhnya.Kalau cuplak adalah kata sifat, maka cuplakan adalah kata bendanya, demikian menurut etimologinya.
Di masyarakat adat saat cuplaknya (lepasnya) tali pusat (puser) bayi karena mengering ditandai dengan satu upacara tersendiri. Dan mengeringnya tali pusat ini biasanya terjadi pada hari kelima dari hari kelahiran. Istilah cuplakan disebut juga dengan istilah sepasaran, sepasar artinya lima hari. Upacara adat tradisional untuk menandai cuplaknya tali pusat si bayi ini disebut cuplakan.
Upacara adat tradisional ini sebetulnya mempunyai tujuan dan makna yang mendalam menurut pengertian masyarakat adat, dalam kaitan dengan kepercayaan bahwa anak, tak lain adalah titipan Tuhan. Karena itu umat wajib memanjatkan rasa syukur apabila dikaruniai anak. Dalam persepsi inilah, dapat diartikan bahwa cuplakan itu adalah pencetusan rasa syukur kehadiran Illahi Robbi.
Peragaan upacara adat tradisional cuplakan dibawakan dalam tiga adegan: adegan 1 tentang adat ritual waktu bayi lahir. Adegan 2, tentang melekan para ibu sebagai kesiagaan terhadap kemungkinan gangguan dari Ratu Laut Selatan.Adegan 3 tentang tibakan dan acara potong rambut. Adegan 1 tentang adat ritual waktu bayi lahir. Ada empat orang yang tampil dalam adegan ini, ialah seorang lelaki membawa kendil tanah liat didalamnya berisi ari-ari, keranjang/ susuk yang berfungsi sebagai pelindung tanah galian. Seorang lelaki membawa sebuah encek di dalamnya berisi cok bakal didalam takir-takir kecil, tumbak sewu, upet dari kain mori/putih yang dipilih,didalamnya berisi garam dapur,kurang lebih 50 cm,daun widoro,alang-alang dan pandan duri. Penjelasan dalam garis besar adalah benda-benda tersebut di atas adalah benda ritual yang pada umumnya mempunyai maksud tertentu dikaitkan dengan kepercayaan yang sampai sekarang masih ada dan diikuti pada beberapa daerah tertentu.
d) Adat Donga Jabang bayi
Setelah mengambil alat-alat mainan sebagai lambang keinginan di dunia, selanjutnya diambil oleh dukun. Sambil membelai-belai bayi, dukun matak aji “doa pengasihan”, dengan harapan nanti jabang bayi kalau dewasa akan selalu kasih terhadap sesamanya dan bayi pun dikasihi orang lain yang akhirnya menjadi manusia yang taqwa terhadap Tuhannya, hormat kepada orang tuanya, dan berguna bagi negara dan bangsanya.
Upacara selanjutnya dukun menyebarkan beras kuning yang berisi uang logam kepada hadirin untuk diperebutkan. Sebagai acara penutup merupakan ungkapan rasa terima kasih dan syukur kepada Allah atau rahmat yang diberikan kepada keluarga tersebut maka dibacakan doa dan diteruskan dengan selamatan agar keluarga tersebut diberikan perlindungan dan keselamatan oleh Sang Pencipta.
e) Upacara Adat Tibakan
Tentang Tibakan dan potong rambut. Adegan ini diawali dengan rombongan santri membawakan bacaan sholawat, diiringi, bunyi terbangan. Menggebrak tajam, menghujam. Saf pertama dan kedua membawakan bacaan sholawat sedang saf ketiga menabuh terbangan. Suara terbangan berselang –seling tari yang serempak dan suara tepuk tangan tiada henti-hentinya. Sesaat kemudian suara terbangan terdengar lemah......Sang ayah membawa putranya keluar ketengah-tengah para tamu, diiringi oleh seorang lelaki membawa sebuah baki berisi gunting, kembang telon, dan telah diberi tepung beras.
Dimulailah acara potong rambut. Semua tamu mendapat kehormatan dan kesempatan menggunting atau mengusap rambut si bayi dengan air kembang telon. Sang ayah dengan rasa bangga dan bahagia perlahan berjalan berkeliling. Rambut potongan ditaruh di dalam mangkuk kosong. Namun, ada juga di beberapa tempat di mana pemotongan dilakukan Kiai saja
f) Upacara Adat Buang Bayi
Upacara ini dimaksudkan untuk membuang sengkala (nafsu jahat) yang ada pada bayi atau anak yang mempunyai hari kelahiran dan pasaran sama persis dengan bapak atau ibunya, karena menurut kepercayaan bahwa bila seorang anak mempunyai hari kelahiran dan pasaran yang sama dengan orang tuanya maka akan mengalami godaan yang besar artinya antara anak dan bapak atau ibunya akan selalu berbeda pendapat dan bahkan anak tersebut akan berani dengan orang tuanya. Jika salah satunya kalah akan mengalami sakit yang berkepanjangan dan selalu bergantian antara anak dan orang tuanya sehingga dilaksanakannya upacara Mbuang Bayi yang dimaksudkan adalah membuang sengkalanya yaitu dengan cara: Bapak/Ibu membawa bayinya di dalam ikrak yang dipandu oleh pinisepuh dan diikuti oleh eyang kakung/putri dari bapak dan dari ibu, menuju ke pluruhan (tempat pembuahan sampah) untuk membuang bayi tersebut ke dalam pluruhan yang berada di depan rumah. Setelah membuang bayinya ke dalam pluruhan, bapak/ibu, eyang kakung/putri dari bapak dan dari ibu kembali masuk ke dalam rumah, sedangkan pinisepuh upacara adat tetap menunggu bayi yang di dalam pluruhan (tempat pembuangan sampah).
3. UPACARA ADAT SELAMATAN BAYI TUJUH BULAN
Upacara adat selamatan bayi tujuh bulan ini dilaksanakan ketika si bayi berusia tujuh bulan. Bagi masyarakat Jawa, keyakinan adat selamatan ini sudah berlangsung lama dan turun temurun. Upacara adat ini terbagi menjadi beberapa macam, antara lain:
a) Adat Banyu Kembang Setaman
Mula mula jabang bayi yang berusia tujuh bulan dimandikan dengan air bunga setaman (manca warna) atau kadang orang di daerah pedesaan menyebutnya banyu gege oleh dukun bayi dengan mantra-mantra menurut tradisi daerah. Hal ini mengandung maksud agar si jabang bayi cepat besar sehingga nanti kalau sudah besar agar lahir batinnya kelak mengenal banyak beraneka ragam peristiwa kembang kehidupan di muka bumi. Dukun menggantikan pakaian bayi juga diikuti dengan mantra-mantra.
Upacara selznjutnya oleh Dukun, jabang bayi diserahkan kepada kedua orang tuanya agar dituntun untuk turun tanah pertama dengan melewati lima buah pijakan kaki yang dibuat dari beras ketan. Dituntun ayah ibu artinya kedua orang tua inilah yan g akan nggulo wentah atau mendidik putranya mulai lahir sampai dewasa nanti, sehinga harapan orang tua agar putranya kelak menjadi orang yang soleh solehah, taqwa kepada Allah, hormat kepada orang tua, serta berguna bagi nusa dan bangsa. Pijakan kaki terbuat dari beras ketan maksudnya agar si jabang bayi dapat beradaptasi dengan bumi atau ibu pertiwi. Pijakan lima buah diberi lima warna yang diambil dari lima unsur yaitu bumi, air, api, tanah, dan kegaiban.
Adat Damar Kembang
Instrumen yang digunakan dalam upacara antara lain: Jidur (beduk) alat bunyi untuk panggilan mulai peribadatan bagi umat Islam. Dungdungan (semacam gendang) yang terdiri dari tiga jenis yaitu besar kecil dan penerus yang merupakan alat tubuh manusia. Terbang (Rebbana) ada sembilan buah sebagai lambang deru keserasian hidup dalam ukhuwah islamiyah. Sek-sek (kencer) melambangkan gairah kehidupan atau variasi kehidupan.
Peralatan yang digunakan dalam upacara antara lain: telam (baki) bundar, hal ini sebagai lambang kehidupan manusia di dunia ini. Isi talam yaitu beras putih yang melambangkan sumber kehidupan semua insan Allah dan merupakan rahmat dan nikmat Allah, nasi tumpeng dan kue macam tujuh yang merupakan sumber kebajikan dan kebahagiaan hidup manusia, buah kelapa yang melambangkan bahwa kehidupan manusia itu serba guna, pallapa (bumbu masak) telur mentah, kopi bubuk, gula, dan nasi takiran merupakan bumbu dari nikmat kehidupan. Damar Kambang (bersumbu kapas dan bahan bakarnya dari minyak kelapa) melambangkan pelita kehidupan manusia. Beras kuning, yang mengandung untuk menolak balak agar jiwa tetap luhur dan mulia. Air kembang sebagai pendingin kehidupan, agar anak dalam menuju kehidupan yang dewasa lebih baik dan mudah serta menjadi manusia shaleh.
b) Adat Bayi Tetel
Ketika penyungkup dibuka oleh ayah bayi yang kemudian bayi tersebut didudukkan di atas tetel oleh ibu dan dukun dilepaskan agar mau mengambil salah satu mainan yang sudah disiapkan dihadapannya. Hal ini mengandung maksud bahwa kelak kalau sudah dewasa anak ini akan menjadi seorang yang sesuai dengan keinginannya atau apa yang dicita-citakan. Misalnya bayi mengambil buku atau pensil, maka anak tersebut kelak kalau dewasa akan menjadi orang yang pandai. Apabila mengabil uang atau perhiasan, maka anak tersebut kelak kalau dewasa akan kaya. Apabila mengambil kitab Al-Quran, maka anak tersebut kalau dewasa akan menjadi kyai atau sikap dan perilakunya seperti kyai.
PENUTUP
A. SIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa :
1). Upacara Adat “Bayen” terbagi menjadi tiga tahap yakni:
(a) Upacara Tingkepan ( meliputi: adat blosot endog, adat putus benang lawe,
adat menebar beras kuning, adat busana tingkepan, adat cangkir gading, adat
pupus pisang, adat siraman, dan prosesi adat tingkepan).
(b) Upacara kelahiran bayi ( meliputi : adat brokohan, adat adi ari-ari, adat
cuplakan, adat donga jabang bayi, adat tibakan, dan adat buang bayi).
(c) Upacara adat selamatan bayi tujuh bulan ( meliputi : adat banyu kembang
Setaman, adat damar kembang, dan adat bayi tetel).
2) Pada hakikatnya, Upacara Adat “Bayen” ini adalah bentuk permohonan
keselamatan dan ketentraman hidup lahir batin kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
dan agar sang ibu hamil bisa lancar dalam melahirkan dan sang bayi juga menjadi
putra/ putri yang cakap/ cantik, mempunyai kepribadian yang baik, berguna bagi
nusa bangsa, agama, dan berbakti kepada orang tua.
3) Bagi masyarakat Jawa, Upacara Adat “Bayen” ini diyakini secara turun temurun,
penuh dengan lambang kehidupan, harapan keselamatan, dan doa.
B. SARAN
Bagi orang Jawa, upacara adat tradisional ( khususnya “Bayen”) perlu dilestarikan keberadaannya, karena sebagai sarana dalam rangka memenuhi kebutuhan spiritual, permohonan keselamatan, perlindungan, dan ketentraman lahir batin.
DAFTAR PUSTAKA
Purwadi, Dr. M.Hum. 2007. Ensiklopedi Adat Istiadat Budaya Jawa. Yogyakarta:
Panji Pustaka.
Sutardjo A, Prof.Dr. dan Wiramihardja, Psi. 2007. Pengantar Filsafat: Sistematika
Filsafat, Sejarah Filsafat, Epistemologi, Metafisika, dan Aksiologi. Bandung :
PT Refika Aditama.
Senin, 30 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar